Monday, August 26, 2013

doa dan mimpiku, Tuhan

Tuhan
apakah nanti aku dimampukan
untuk berdiri sendiri
di atas tanahku sendiri
di atas tanah yang berhak untuk 
ku gulung
ku siram
ku tiup
ku hirup
ku peluk

apakah nati aku mampu
menggenggam duniaku sendiri
menggelindingkan ke segala
yang ku mau
Tuhan?
 
Tuhan apakan nanti 
aku mampu
mencuci hati dan pikiran?
agar ku lupa seberapa pernah aku sakit 
seberapa pernah aku terluka
seberapa pernah aku menyimpan segala rasa 

Tuhan,
jangan anggap aku anak bodoh
Kau tahu bagaimana dungunya aku, kan?
aku ingin bertanya
apakah seiring bertambahnya aku
bertambahnya inci lebar tubuhku
apakah hatiku juga akan terus bertumbuh?

apakah nantinya mimpiku juga terus bertumpuk?
apakah nanti ada jaminan doaku akan didengar?

ah, aku terlalu lama berdoa
aku terlalu lama tertidur
saat ku buka mata 
panjang sekali doa dan mimpiku Tuhan

Tuhan, aku memang bodoh
aku tahu benar
tapi apakah Engkau biarkan aku terus saja begini

Saturday, June 15, 2013

House

Memasuki angka di nomor hampir dua puluh dua, aku dituntut menjadi seorang yang harus mampu melakukan segalanya di rumah. Tujuh buah sepatu berukuran dua digit dan sebuah lagi baru diproduksi. itulah kami sekarang. Kami bahagia dengan anggota baru di keluarga besar ini.

sebuah sepatu kiri berukuran lima ukuran lebih besar dariku sudah tinggal bersama sepatu pasangannya di sebuah kota besar. Jauh dari tempatku berdiri saat ini. Dan baru saja mereka memproduksi a tiny shoes. Ukrannya belum ada satu. Masih sangat lemah untuk berjalan. Semakin hari ponakanku ini semakin menggemaskan.

Sebuah sepatu kiri berukuran lebih besar hampir dua ukuran dariku juga tidak menghabiskan kira-kira lima tahun ini di dekatku. Dia menyelesaikan studinya juga di kota itu. Wajah dan perawakannya hampir mirip denganku. Tak jarang mereka sering salah menyebut nama kami.

Di sini, dimana semua sepatu kiri ini diproduksi, aku tinggal bersama orang tuaku. Sepatu kanan itu sudah berukuran lima puluh enam. Sudah hampir memasuki masa pensiun. Sudah semakin cerewet. Dan semakin gengsi menunjukkan sayangnya padaku. Tapi aku tahu betul, hidupnya hanya untuk kami. Untukku juga, sepatu kiri yang masih terlalu lemah menghadapi hidup.

Sepatu kiri itu juga sudah semakin renta. Selalu bekerja lebih dari biasa, apabila sedang banyak orang yang meminta bantuannya membuat kue ini dan itu.  Wajahnya masih terlihat cantik di ukuran yang sudah memasuki lima puluh satu. Dengan segala cerewetnya aku mengerti, dia ingin sepatu yang masih sering menangis di bawah selimut sebelum tidur ini menjadi seperti dia. Membuat kue untuk pelanggan-pelanggannya.

Sepatu kiri yang ukurannya tujuh ukuran lebih kecil dariku juga masih hidup bersamaku. Tinggi badannya sudah melebihi aku, sedikit. Rambutnya sangat tebal dan hitam. Suaranya lebih merdu dariku. Ya ku akui itu. di ukuran yang sudah hampir empat belas ini tingkahnya masih seperti anak-anak. Jiwanya, pola pikirnya, manjanya masih sama seperti anak SD.

-

Aku sengaja mengurung diri di bawah selimut, meskipun aku sudah sadar benar dari tidurku.Dari beberapa puluh menit yang lalu. Aku selalu memikirkan apa yang akan aku lakukan hari ini. Dari aku beranjak pergi dari kasur hingga malam hari aku menjelang tidur.

Hal yang selalu dan hampir pasti ku lakukan adalah setelah aku bangun tidur, menggosok gigi, mencuci muka. Aku harus membersihkan rumah. Ku mulai dengan mencuci piring dan teman-temannya. Sepatu-sepatu di rumahku tidak terbiasa untuk mencuci piring mereka sendiri. Belum lagi saat ibuku membuat kue. Gunungan piring, loyang, dan gelas harus ku cuci satu per satu. Entah berapa lama aku berdiri. Yang aku ingat hanya kakiku sulit untuk ku gerakkan.

Untuk mempersingkat waktu, mencuci piring dan baju ku kerjakan bersamaan, meskipun baju-baju itu sering terlupa. Dan baru ku selesaikan malam harinya. Seperti kebanyakan malam sebelumnya. Lagi lagi, sepatu-sepatu di rumahku tidak mencuci baju mereka sendiri.

Setelah itu, aku mulai merapikan rumahku. Ku sapu semuanya, lalu mengambil kain pel dan mulai mengepel.
Seperti lomba lari rasanya. Semuanya ku kerjakan berantai, seperti sudah memanggilku.

Ini ku lakukan setiap hari.

Dan aku pun pergi ke kampus, dengan badan yang sudah mau copot rasanya.

Tapi sepatu kiri yang biasa ku sebut ibu, tidak memberiku kesempatan untuk meregangkan tangan dan kakiku barang sehari saja. Selalu kurang ini dan kurang itu.

Lalu sepatu kiri yang lain berlagak seperti tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di ruma ini. Seragam, kaos hingga celana dalamnya aku yang mencuci. Gelas dan piring bekas dia pakai, juga aku yang membereskan.
Aku pernah meminta bantuannya, tapi hanya sekali itu. Tidak pernah lagi. Dan ibuku sendiri juga tidak memperdulikan itu.

-

Sepatu kiri itu sangat dimanjakan oleh ayah ibuku. Tidak seperti aku dulu. Saat aku bernomor empat belas seperti dia, tanggung jawabku sudah lebih banyak. Setiap hari minggu, cucian piring yang menggunung itu harus ku lahap sendiri. Sedikit saja salah saat membantu ibu, keluar juga makian ibu. Cacian yang memekakkan telingaku juga.

Tapi sekarang... Dia tidak lagi begitu. Sepatu kiri itu sangat dimanjakan. Seperti seorang putri kerajaan dan aku adalah pembantunya.

This is not home. this is the place where i have to work

Saturday, May 25, 2013

sepatu kanan belahan jiwaku

Kita ini ibarat sepatu kanan dan sepatu kiri. Kamu kanan dan aku kiri. Kita dipasangkan oleh pemilik kaki yang memakai kita sebagai alas kakinya, Tuhan. 

Kita sepasang sepatu tak bertali. Karena itu yang sedang kita cari. Tali untuk mengaitkan dua sepatu ini agar selalu berjalan bersama beriringan bersama.

Tapi kadang aku lupa, tidak mungkin sepatu kanan dan kiri akan bertemu saat berjalan. Kita adalah sepasang sepatu berbeda bentuk yang selalu melengkapi. Apabila satu hilang, maka yang lain tidak akan berguna lagi. 

Aku ingin selalu menemani kemanapun sepatu kanan itu beranjak pergi. Aku ingin berada terus di dekatnya, aku tidak ingin hal yang tidak seharusnya terjadi. Karena aku akan ada kalau dia ada. Bukankah kami saling melengkapi. saling bersama. 

Kami cuma ingin tali. Dan dua kaos kaki kami. Merekalah masa depan kami.
I love you sepatuku.

Sunday, May 5, 2013

For you

Ku akui, aku memang egois. Dalam hubungan ini seakan akan tiga dari empat bagiannya adalah aku. Tanpa ku sadari ku ambil hampir seluruh bagianmu. Ya, tanpa ku sadari awalnya. Namun setelah beberapa kali kau ucapkan 'Kita putus saja', aku seperti tertampar dan tersadar, bahwa aku salah. Lalu setelah berpuluh kali kita jatuh dan bangun. Kata itu kembali muncul, dua kali dalam seminggu. Seingatku. Lalu ku putuskan untuk menerima semua yang kamu lakukan. Aku tidak lagi sering menghubungimu sejak itu. Aku memendam egoku, meski terkadang masih terlihat. Tapi ternyata perubahan itu sama sekali tidak ada artinya. Saat aku mengalah, kamu heran. Saat aku menanyakan sesuatu berkali-kali, emosimu menjadi tak terkendali. What I have to do now

Tanpa sengaja ku baca tulisanmu di jejaring sosial. "don't know what is on your mind. But i'm getting sick and tired". Aku hanya terdiam, ku sesali perkataanku tadi siang. 

Tapi aku juga sangat bingung. Dulu, pernah kamu bilang kita harus terbuka akan apa yang kita rasakan. Aku ingin lebih terbuka sehingga aku tidak lagi mengambil semua bagianmu dalam hubungan kita, ingin mencoba semua dari awal, seperti seolah-olah aku baru saja mengenalmu, seperti baru saja aku malu memegang tanganmu. Tapi memulai itu semua saja aku bingung, dimana awalnya. 

Maaf karena membuatmu terluka, meski tidak kau tampakkan di depanku. Maaf ku undang semua rasa kecewamu. maaf untuk tidak membuatmu bahagia. Maaf telah memaksamu merajut mimpi-mimpi besar itu. Semua memang salahku.

Tuesday, April 30, 2013

Das bin ich

Aku, perempuan biasa yang juga punya mimpi. Bermimpi bagiku adalah hal yang hanya aku sendiri di dalamnya. Meskipun seringkali ku seret beberapa rang di dalamnya. Bermimpi membuatku menjadi diriku sendiri, menjadi sesuatu yang ku inginkan. Sejak lama entah berapa lama, aku juga tidak mengingatnya, aku bermimpi untuk berubah menjadi seorang perempuan cantik. Berpenampilan menarik, rambut tergerai panjang, tinggi, dan ideal. Detik ini mimpi itu masih bersamaku. we are just like a best friend, really!

Aku pun bermimpi untuk selalu berpenampilan menarik wherever i will go. Memulas wajahku secantik mungkin saat pergi ke kampus. Lalu orang akan memandangiku, meskipun hanya dalam angkutan kota, alat transportasiku ke kampus. Aku pernah melakukannya. Aku ngeblow rambut, pake eyeshadow, pemulas bibir, blush on. Memilih atasan dan celana ternyaman yang aku punya. Lalu aku pergi ke kampus. Jarak rumahku dengan jalan raya sedikit lumayan untuk berkeringat. Lalu aku menyeka wajahku dengan tanganku berkali-kali. Dan itu terjadi berjuta-juta kali sampai aku tiba di kampus. Ah, sudahlah tidak perlu ku jelaskan lagi apa yang terjadi dengan wajah dan rambutku. Aku masih berpikir ulang untuk seperti itu setiap hari, meskipun aku selalu iri dengan perempuan-perempuan cantik yang seliweran di kampus, di depan mataku.

Aku cuma ingin punya gadget canggih seperti mereka.

Saat ini berat badanku adalah yang paling gendut selepas aku keluar dari SMA. Entah kenapa jarum timbangan badan di kamar mamaku selalu bergerak ke kanan. Sepertinya enggan kali dia berpindah arah. Aku mengurangi porsi makan. Alhasil aku selalu lapar mata dan mencomot apapun yang teronggok memelas di meja makan sambil terus memanggil namaku. Karena aku adalah orang yang sangat baik, lalu aku menggenggamnya dan memasukkannya ke dalam perutku. Tidak dalam sekejap, tetapi perlahan tapi pasti. Kalau tidak, mamaku akan mengeluarkan jurus saktinya untuk menghentikanku. ceramah! Aku pun mengikuti kelas erobik di dekat rumahku. Awalnya aku hanya membayar setiap kali aku datang. Lalu aku menjadi member dan membayar di awal bulan. Tetapi aku sering kali membiarkan egoku menguasaiku. Aku lebih memilih berbaring sambil menggenggam sesuatu dan menyembunyikannya di balik timbunan lemak di perutku.

Itulah mimpiku. Mimpi-mimpiku. Yang sama sekali aku tidak cukup menjadikan diriku kuat untuk melakukan semuanya. Aku hanya bermimpi, merajutnya, lalu mengembangkannya menjadi mimpi-mimpi yang sedikit lebih besar. Dan terus berharp suatu saat nanti Tuhan memberiku keajaiban. Ah, bodoh!

Wednesday, April 17, 2013

meski tak kau lihat

Suatu hubungan itu seperti sebuah lingkaran. Kita harus mengisinya dengan titik ataupun garis dengan berbagai warna. Kami pun begitu. Kami mengisi lingkaran itu dengan tinta warna yang paling indah yang kita miliki. Ku paksa dia mengisi lingkaran ini, karena dia lah yang paling malu-malu saat itu. Semua tampak indah. Kami bertemu setiap hari, meski hanya sebentar. Setiap pertama kali akan melihatnya, matanya, aku selalu gugup. Padahal mata itu sudah berpuluh kali ku lihat. Ku sembunyikan kegugupanku di balik senyumku. Ah, inilah laki-laki itu. Laki-laki yang akan mengisi lingkaran itu, kehidupanku. 

Di balik tubuhnya yang besar, di balik rambut-rambut tebal di atas bibirnya. Dia adalah laki-laki paling sabar, yang pernah ku kenal. Bayangkan saja, dia mengantarku ke kampus. Lalu menungguku hingga urusanku selesai. dari matahri masih malu menampakkan diri, sampai dia sudah tergelincir ke barat. Ah, aku merasa begitu berharga.

Tapi entah kenapa, aku memoleskan garis dengan tinta kelabu. Aku merasa ini adalah lingkaranku sendiri, aku berhak member warna apapun, dan dia dengan sabar akan menerima semua warnaku. Awalnya memang begitu. Dia masih saja member warna pelangi.

Lalu ku paksa warna-warna gelap itu muncul darinya. Entah aku memang sengaja, atau aku membiarkan warna itu berhamburan keluar. Awalnya kelabu, lalu menghitam, lalu sekarang warna-warna itu berubah menghitam. Pekat sekali. Aku bingung kenapa sepekat itu. Aku pun memaksa diriku mengeluarkan semua tinta gelap yang aku punya. Tapi dia mempunyai warna yang lebih gelap. Berkali-kali dia menghentikan tanganku agar aku tidak lagi menorehkan tinta, sama sekali. Aku menolak, aku memberontak. Ku lawan tinta gelap itu dengan pelangi yang ku miliki. Tapi bukan warna pelangi yang dia lihat. Dilihatnya hanya titik-titik tanpa warna.
Lalu ku biarkan kamu begitu. Ku siramkan warna pelangi indahku, meski tak kau lihat.


Wednesday, March 6, 2013

roti bawang putih

aku berhenti pada satu titik jenuh dengan aku dan dia waktu itu. namun, entah bagaimana jalan Tuhan membuat semua menjadi berbeda, lalu ku temukan penggantinya. lebih cepat dari kilat. sepertinya baru tadi ku tutup mataku, lalu semua berubah saat ku buka lagi.

aku merasakan lagi bagaimana jantungku berdetak lebih kencang dari biasa. lalu pikiranku menjadi kosong, dan aku hanya bisa tersenyum tanpa mampu mencegahnya keluar. perutku seketika bergejolak seakan di sana sedang terjadi perang antara para raksasa dan manusia. seakan lututku tak kuat menopang berat tubuhku. sudah terlalu lama perasaan-perasaan tersebut ku sembunyikan tanpa mampu ku ucap alasannya. dan itu ku rasakan saat aku bertemu denganmu.

bersamamu membuatku menemukan kenyamanan-kenyamanan yang aku sendiri sudah lupa kapan mereka datang menghampiri. semuanya manis, indah, dan aku bahagia. seperti pintaku. aku bahkan merasa Tuhan terlalu cepat mengganti senduku dengan bahagia yang akan selalu ku dekap, selamanya. setidaknya, itulah inginku lainnya.

kamu pun mulai bercerita bagaimana perasaanmu tiba-tiba tumbuh. konyol. bagaimana mungkin garlic bread yang ku berikan padamu di pagi itu adalah yang mengawali segalanya. kira-kira tujuh jam sebelum pertemuan kita, aku mengoleskan mentega, cincangan garlic, dan daun kucai yang ku petik dari "kebun" mama. ku letakkan di beberapa loyang kue, lalu ku tinggal tidur. esoknya aku bangun lebih pagi dari biasanya, selain jam mandiku yang lama, menghairdrying rambutku, dan selalu ribet dengan kegiatanku sendiri, aku juga harus mengoven roti itu.

lalu aku berangkat dengan perasaan sedikit ganjil. oh God, roti yang sudah ku persiapkan dengan keringat, aku lupa membawanya. lalu secepat kilat ku keluarkan handphoneku, ku kabari mama. selang dua puluh menit kemudian kita bertemu. roti-rotiku sudah berada di atas meja tepat di depanmu. ku katakan bahwa roti itu adalah milikmu sekarang. lalu katamu beratus-ratus jam kemudian, di detik itulah kamu memercikkan kembang api itu di hatimu. dan mulai aktif menggoda hidupku.

lalu sampai pada malam, dimana kamu mengutarakannya melalui pesan singkat. ya. itulah jawabku saat itu. kamu yidak memintaku menjadi pacarmu, tetapi menjadi teman di hidupmu selamanya dan menjadi ibu dari anak-anakmu.

kemudian ku biarkan kamu menyelami hidupku, pikiranku, dan hatiku. dan aku hanya terdiam. aku bahagia.

with him, the giant