Tuesday, April 30, 2013

Das bin ich

Aku, perempuan biasa yang juga punya mimpi. Bermimpi bagiku adalah hal yang hanya aku sendiri di dalamnya. Meskipun seringkali ku seret beberapa rang di dalamnya. Bermimpi membuatku menjadi diriku sendiri, menjadi sesuatu yang ku inginkan. Sejak lama entah berapa lama, aku juga tidak mengingatnya, aku bermimpi untuk berubah menjadi seorang perempuan cantik. Berpenampilan menarik, rambut tergerai panjang, tinggi, dan ideal. Detik ini mimpi itu masih bersamaku. we are just like a best friend, really!

Aku pun bermimpi untuk selalu berpenampilan menarik wherever i will go. Memulas wajahku secantik mungkin saat pergi ke kampus. Lalu orang akan memandangiku, meskipun hanya dalam angkutan kota, alat transportasiku ke kampus. Aku pernah melakukannya. Aku ngeblow rambut, pake eyeshadow, pemulas bibir, blush on. Memilih atasan dan celana ternyaman yang aku punya. Lalu aku pergi ke kampus. Jarak rumahku dengan jalan raya sedikit lumayan untuk berkeringat. Lalu aku menyeka wajahku dengan tanganku berkali-kali. Dan itu terjadi berjuta-juta kali sampai aku tiba di kampus. Ah, sudahlah tidak perlu ku jelaskan lagi apa yang terjadi dengan wajah dan rambutku. Aku masih berpikir ulang untuk seperti itu setiap hari, meskipun aku selalu iri dengan perempuan-perempuan cantik yang seliweran di kampus, di depan mataku.

Aku cuma ingin punya gadget canggih seperti mereka.

Saat ini berat badanku adalah yang paling gendut selepas aku keluar dari SMA. Entah kenapa jarum timbangan badan di kamar mamaku selalu bergerak ke kanan. Sepertinya enggan kali dia berpindah arah. Aku mengurangi porsi makan. Alhasil aku selalu lapar mata dan mencomot apapun yang teronggok memelas di meja makan sambil terus memanggil namaku. Karena aku adalah orang yang sangat baik, lalu aku menggenggamnya dan memasukkannya ke dalam perutku. Tidak dalam sekejap, tetapi perlahan tapi pasti. Kalau tidak, mamaku akan mengeluarkan jurus saktinya untuk menghentikanku. ceramah! Aku pun mengikuti kelas erobik di dekat rumahku. Awalnya aku hanya membayar setiap kali aku datang. Lalu aku menjadi member dan membayar di awal bulan. Tetapi aku sering kali membiarkan egoku menguasaiku. Aku lebih memilih berbaring sambil menggenggam sesuatu dan menyembunyikannya di balik timbunan lemak di perutku.

Itulah mimpiku. Mimpi-mimpiku. Yang sama sekali aku tidak cukup menjadikan diriku kuat untuk melakukan semuanya. Aku hanya bermimpi, merajutnya, lalu mengembangkannya menjadi mimpi-mimpi yang sedikit lebih besar. Dan terus berharp suatu saat nanti Tuhan memberiku keajaiban. Ah, bodoh!

Wednesday, April 17, 2013

meski tak kau lihat

Suatu hubungan itu seperti sebuah lingkaran. Kita harus mengisinya dengan titik ataupun garis dengan berbagai warna. Kami pun begitu. Kami mengisi lingkaran itu dengan tinta warna yang paling indah yang kita miliki. Ku paksa dia mengisi lingkaran ini, karena dia lah yang paling malu-malu saat itu. Semua tampak indah. Kami bertemu setiap hari, meski hanya sebentar. Setiap pertama kali akan melihatnya, matanya, aku selalu gugup. Padahal mata itu sudah berpuluh kali ku lihat. Ku sembunyikan kegugupanku di balik senyumku. Ah, inilah laki-laki itu. Laki-laki yang akan mengisi lingkaran itu, kehidupanku. 

Di balik tubuhnya yang besar, di balik rambut-rambut tebal di atas bibirnya. Dia adalah laki-laki paling sabar, yang pernah ku kenal. Bayangkan saja, dia mengantarku ke kampus. Lalu menungguku hingga urusanku selesai. dari matahri masih malu menampakkan diri, sampai dia sudah tergelincir ke barat. Ah, aku merasa begitu berharga.

Tapi entah kenapa, aku memoleskan garis dengan tinta kelabu. Aku merasa ini adalah lingkaranku sendiri, aku berhak member warna apapun, dan dia dengan sabar akan menerima semua warnaku. Awalnya memang begitu. Dia masih saja member warna pelangi.

Lalu ku paksa warna-warna gelap itu muncul darinya. Entah aku memang sengaja, atau aku membiarkan warna itu berhamburan keluar. Awalnya kelabu, lalu menghitam, lalu sekarang warna-warna itu berubah menghitam. Pekat sekali. Aku bingung kenapa sepekat itu. Aku pun memaksa diriku mengeluarkan semua tinta gelap yang aku punya. Tapi dia mempunyai warna yang lebih gelap. Berkali-kali dia menghentikan tanganku agar aku tidak lagi menorehkan tinta, sama sekali. Aku menolak, aku memberontak. Ku lawan tinta gelap itu dengan pelangi yang ku miliki. Tapi bukan warna pelangi yang dia lihat. Dilihatnya hanya titik-titik tanpa warna.
Lalu ku biarkan kamu begitu. Ku siramkan warna pelangi indahku, meski tak kau lihat.