Saturday, June 15, 2013

House

Memasuki angka di nomor hampir dua puluh dua, aku dituntut menjadi seorang yang harus mampu melakukan segalanya di rumah. Tujuh buah sepatu berukuran dua digit dan sebuah lagi baru diproduksi. itulah kami sekarang. Kami bahagia dengan anggota baru di keluarga besar ini.

sebuah sepatu kiri berukuran lima ukuran lebih besar dariku sudah tinggal bersama sepatu pasangannya di sebuah kota besar. Jauh dari tempatku berdiri saat ini. Dan baru saja mereka memproduksi a tiny shoes. Ukrannya belum ada satu. Masih sangat lemah untuk berjalan. Semakin hari ponakanku ini semakin menggemaskan.

Sebuah sepatu kiri berukuran lebih besar hampir dua ukuran dariku juga tidak menghabiskan kira-kira lima tahun ini di dekatku. Dia menyelesaikan studinya juga di kota itu. Wajah dan perawakannya hampir mirip denganku. Tak jarang mereka sering salah menyebut nama kami.

Di sini, dimana semua sepatu kiri ini diproduksi, aku tinggal bersama orang tuaku. Sepatu kanan itu sudah berukuran lima puluh enam. Sudah hampir memasuki masa pensiun. Sudah semakin cerewet. Dan semakin gengsi menunjukkan sayangnya padaku. Tapi aku tahu betul, hidupnya hanya untuk kami. Untukku juga, sepatu kiri yang masih terlalu lemah menghadapi hidup.

Sepatu kiri itu juga sudah semakin renta. Selalu bekerja lebih dari biasa, apabila sedang banyak orang yang meminta bantuannya membuat kue ini dan itu.  Wajahnya masih terlihat cantik di ukuran yang sudah memasuki lima puluh satu. Dengan segala cerewetnya aku mengerti, dia ingin sepatu yang masih sering menangis di bawah selimut sebelum tidur ini menjadi seperti dia. Membuat kue untuk pelanggan-pelanggannya.

Sepatu kiri yang ukurannya tujuh ukuran lebih kecil dariku juga masih hidup bersamaku. Tinggi badannya sudah melebihi aku, sedikit. Rambutnya sangat tebal dan hitam. Suaranya lebih merdu dariku. Ya ku akui itu. di ukuran yang sudah hampir empat belas ini tingkahnya masih seperti anak-anak. Jiwanya, pola pikirnya, manjanya masih sama seperti anak SD.

-

Aku sengaja mengurung diri di bawah selimut, meskipun aku sudah sadar benar dari tidurku.Dari beberapa puluh menit yang lalu. Aku selalu memikirkan apa yang akan aku lakukan hari ini. Dari aku beranjak pergi dari kasur hingga malam hari aku menjelang tidur.

Hal yang selalu dan hampir pasti ku lakukan adalah setelah aku bangun tidur, menggosok gigi, mencuci muka. Aku harus membersihkan rumah. Ku mulai dengan mencuci piring dan teman-temannya. Sepatu-sepatu di rumahku tidak terbiasa untuk mencuci piring mereka sendiri. Belum lagi saat ibuku membuat kue. Gunungan piring, loyang, dan gelas harus ku cuci satu per satu. Entah berapa lama aku berdiri. Yang aku ingat hanya kakiku sulit untuk ku gerakkan.

Untuk mempersingkat waktu, mencuci piring dan baju ku kerjakan bersamaan, meskipun baju-baju itu sering terlupa. Dan baru ku selesaikan malam harinya. Seperti kebanyakan malam sebelumnya. Lagi lagi, sepatu-sepatu di rumahku tidak mencuci baju mereka sendiri.

Setelah itu, aku mulai merapikan rumahku. Ku sapu semuanya, lalu mengambil kain pel dan mulai mengepel.
Seperti lomba lari rasanya. Semuanya ku kerjakan berantai, seperti sudah memanggilku.

Ini ku lakukan setiap hari.

Dan aku pun pergi ke kampus, dengan badan yang sudah mau copot rasanya.

Tapi sepatu kiri yang biasa ku sebut ibu, tidak memberiku kesempatan untuk meregangkan tangan dan kakiku barang sehari saja. Selalu kurang ini dan kurang itu.

Lalu sepatu kiri yang lain berlagak seperti tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di ruma ini. Seragam, kaos hingga celana dalamnya aku yang mencuci. Gelas dan piring bekas dia pakai, juga aku yang membereskan.
Aku pernah meminta bantuannya, tapi hanya sekali itu. Tidak pernah lagi. Dan ibuku sendiri juga tidak memperdulikan itu.

-

Sepatu kiri itu sangat dimanjakan oleh ayah ibuku. Tidak seperti aku dulu. Saat aku bernomor empat belas seperti dia, tanggung jawabku sudah lebih banyak. Setiap hari minggu, cucian piring yang menggunung itu harus ku lahap sendiri. Sedikit saja salah saat membantu ibu, keluar juga makian ibu. Cacian yang memekakkan telingaku juga.

Tapi sekarang... Dia tidak lagi begitu. Sepatu kiri itu sangat dimanjakan. Seperti seorang putri kerajaan dan aku adalah pembantunya.

This is not home. this is the place where i have to work